Gadis Padei (Sebuah risalah gadis Bangka)




Allahuakbar Allahuakbar...
Allahuakbar Allahuakbar...
Terdengar samar-samar suara adzan subuh yang sedang berkumandang, memecah gelapnya malam hingga menembus lelap tidurku. Aku bergegas berangkat dari tempat tidurku sembari meraba kacamata yang berada tepat di atas meja belajarku, menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan menunaikan sholat subuh. Di dapur, aku melihat ibu yang sedang membakar kayu yang ia ambilkan di hutan sore kemarin, kayu yang ia gunakan untuk memasak sehari-harinya. Dengan senyuman kecil ibu melontarkan sepatah kata kepadaku.
selamat pagi anak gadis emak?” aku hanya membalas perkataan ibu dengan senyuman kecil juga yang membuat otot-otot wajahku bekerja di pagi ini.
Oh ya, nama ku Wulan. Aku dilahirkan oleh seorang mailakat tanpa sayap tepat 16 tahun yang lalu di tanah Wangka. Ketika usiaku 2 bulan bapak meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Bapak meninggal ketika tertimbun pasir ketika sedang berada di kolong TI (Tambang Inkonvensional) tempat ia bekerja bersama sebagian kepala keluarga lainnya. Jadi sampai sekarang aku hanya tinggal berdua dengan ibuku.
 Aku dilahirkan dan dibesarkan di sebuah tempat yang jauh dari ingar bingar kota, orang-orang sering menyebut kampungku sebagai dusun ketimbang desa. Mungkin karena penduduknya tidak terlalu padat dan aksesnya yang susah di jangkau.
***
aku langsung ke kamar dan menunaikan sholat subuh dan kemudian menyiapkan baju sekolah yang akan ku gunakan di hari terakhir sekolah ku.
Tiba-tiba saja terdengar suara ibu dari arah dapur  Wulan lah selesai sholat lom? Sini bantu mak masak aik.
Lah mak, tunggu luk. Wulan nek nyiap baju sekulah luk
Setelah selesai menyiapkan baju sekolah yang akan ku gunakan segera aku ke dapur dan menggantikan ibu untuk membuat bara api dari kayu yang telah dibakar ibu, memasak air dan membuat dua gelas teh hangat untuk sarapan kami pagi ini.
Jam dinding ruang tengah kami telah menunjukkan pukul 07.00, sebelum aku dan ibu pergi ke sekolah aku pergi ke rumah pak Haji Somad untuk meminta izin pagi ini tidak dapat bekerja di ladang pak Somad untuk memanen padi. Semenjak aku selesai mengikuti ujian nasional aku memasuki libur panjang, dan disaat libur panjang tersebut aku menggantikan ibu yang biasanya bekerja di ladang pak Somad. Pak Somad merupakan seorang duda berusia 54 tahun yang istrinya telah meninggal dunia sejak 8 tahun lalu dan ia juga tidak dikaruniai anak.
Ya hari ini aku dan ibu akan kesekolah untuk mengambil surat kelulusan SMA. “Nak, Yo berangkat. Mak lah didepan ni jangen lingah” sembari ibuku mengeluarkan krito yang sudah selama dua bulan lebih ini tidak dikeluarkan dari tempat barang-barang bekas di belakang rumah karena tidak aku gunakan selama libur sekolah ini. Dan selama aku bekerja di ladang pak Somad aku lebih memilih berjalan kaki, karena jarak rumah dengan ladang pak Somad hanya sekitaran 500 meter saja.
Aok mak, ni Wulan tengah makai sepatu mak
Mungkin ibu terlalu takut untuk terlambat sampai ke sekolahan ku karena jarak dari rumah dan sekolah cukup jauh, dan kami  harus melewati beberapa kampung terlebih dahulu untuk sampai ke sekolahan ku.
Sesampainya di sekolah ibu yang sudah menggunakan baju terbaiknya dan menggunakan sedikit riasan makeup kini harus basah dan luntur dengan keringat yang telah membanjiri sebagian tubuh ibu karena mengkayuh sepeda usang  dan berdebu itu. Tetapi aku tidak melihat sedikitpun rasa letih dan kecewa ibu dari raut wajahnya yang selalu melemparkan senyum kepada ku. Ketika di halaman sekolah, semua anak-anak kelas 12 berkumpul di lapangan upacara dan mendengarkan intruksi dari kepala sekolah mengenai kelulusan kami. Memberikan intruksi untuk tidak melakukan coret-coret baju dan melakukan konvoi seusai pengumuman kelulusan ini.
Anak-anak, hari ini adalah hari pengumuman kelulusan kalian. Bapak tidak mau sma kita ada yang pergi konvoi dan mencoret-coret baju. Pihak sekolah sudah menyiapkan kain putih besar di lapangan untuk kalian memberikan tanda tangan kalian sebagai kenang-kenangan” kata kepala sekolah sambil menunjukkan letak katin putih tersebut.
“Selain itu, pada pagi ini akan diumumkan hasil ujian nasional dan siapa saja yang mendapatkan peringkat 1 sampai 3 dalam ujian nasional ini”
Jantungku dag dig dug tidak karuan, aku takut hari ini ibu yang telah berdandan cantik tidak dapat maju ke mimbar depan untuk menemani aku sebagai siswa yang berprestasi. Aku takut mengecewakannya di akhir kelulusanku ini. Tapi ku coba menenangkan diri diantara anak murid yang lainnya.
Dan ternyata aku mendapatkan nilai tertinggi ujian nasional sekabupaten!!
Tak lama setelah ibuku maju dan berfoto bersama dengan kepala sekolah, aku memeluk ibu sebagai tanda syukur atas doa-doa yang telah ibuku hanturkan kepada ku dalam menghadapi ujian nasional tahun ini. Berkat doa ibukulah aku mendapatkan ini semua.
***
Setelah kami sampai di rumah, aku berbicara bersama ibu mengenai kelanjutan pendidikan ku. Dibalik rasa bahagia ibuku atas prestasi yang aku dapatkan terdapat kebingungan yang ibu rasakan. Dia bingung apakah ingin melanjutkan pendidikan ku di bangku kuliah atau tidak dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan seperti sekarang.
Lan, k nek ngelanjut kuliah dimana abis ni?” suara emak memecah lamunan ku  dari arah pintu rumah.
Ku bingung mak, ku dak tega ninggalin mak sendiri di rumah. Siapa yang kek mantu mak begawe di ladang pak somad
Dak ape dak lan, mak disini dak ape begawi surang-surang. Ka fokus kek pendidikan ka bai, mak fokus nyari duit untuk kuliah ka. Okeee  ibu sambil melontarkan senyuman untuk menyemangati ku.

Senja mulai menampakkan diri dengan disertai gerimis, awan jingga berlahan-lahan menghilang ditelan kegelapan. Hari yang begitu panjang memikirkan nasib pendidikan ku setelah ini, termenung memikirkan perkataan ibu di selasar depan rumah seusai pulang dari sekolah tadi.
Suara azan magrib terdengar dari masjid, aku mulai mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat magrib berjamaah bersama ibu di rumah. Setelah selesai sholat magrib aku segera melepaskan mukenah dan pergi meninggalkan ibu yang sedang berdoa di kamar. Aku melihat ibu yang sedang berdoa di hadapan tuhan sembari meneteskan air mata, aku mencoba menebak-nebak apa yang membuat ibu meneteskan air mata. Apakah karena kebingungannya memilih anaknya untuk melanjutkan kuliah atau tetap bekerja di kampung? Atau ibu menangis karena hari ini aku telah memberikan hadiah terbaik kepada ibu berupa prestasi ku di sekolah? Aku tak ingin melihat ibuku menangis seperti ini.
Setelah ibu selesai berdoa ibu segera menyiapkan makan malam berupa sayur daun singkong  yang telah ibu tumis seusai pulang sekolah, di meja makan pun ibu masih menanyakan ku mengenai kelanjutan pendidikan. Aaaaahh, sepertinya otak ku hari ini terasa penuh. Aku dengan cepat-cepat menyelesaikan makan ku dan kemudian mencuci piring seusai makan.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 21.03, aku duduk di pinggir tempat tidurdan masih memikirkan perkataan ibu yang ingin menyuruh ku untuk melanjutkan pendidikan. Perkataan ibu masih menghantui otak ku.
Aku meletakkan pakaian ku di atas kursi dan merayap ke tempat tidur. Aku jatuh tertidur hampir seketika dan mendapatkan impian yang sepertinya benar-benar nyata. Melepaskan segala penat pikiran ku hari ini dan berharap besok mendapatkan titik terang atas percakapan aku dan ibu
***
Pagi ini aku terbangun, sama seperti hari-hari biasanya aku melakukan rutinitas pagi seperti sholat subuh, membantu menyiapkan kayu bakar dan menyediakan air teh hangat untuk sarapan pagi. Pagi ini aku membantu ibu di ladang, bulan ini merupakan bulan panen raya padi di kampung kami sehingga pak Somad meminta tolong kami untuk memanen padi-padi yang ada di ladang beliau.
Setelah seminggu penuh aku membantu ibu di ladang untuk membantu dalam proses memanen padi pak Somad datang ke rumah kami untuk memberikan gaji kepada ibu yang telah membantu beliau memanen padi di ladangnya. Yang membuat aku dan ibu terkejut adalah ketika pak Somad datang ke  rumah dengan maksud yang berbeda.
Assalammualaikum...” terdengar suara dari selasar depan.
Waalaikumussalam, Siapa?
Ibu dan aku bertanya-tanya siapa gerangan siang-siang bolong begini datang ke rumah kami.
”Oh, pak Somad ok. Masuk-masuk pak” Ibu mempersilakan pak Somad untuk masuk ke rumah kami.
“Wah ade maksud apa ni pak tiba-tiba dateng ke rumah kami ni? Heheh”
“maksud tujuan ku dateng kesini nek ngasih gaji k kek Wulan yang lah bantu ku di ladang ni. Kemaren nek ngasih kek k di ladang kelupa” Pak Somad sambil menjulurkan uang yang ia ambil dari saku celananya.
“Alhamdulillah, makasih pak ok. Ku terima duit e ni.
“Ngomong-ngomong mana anak k, dak de ku ngeliet e”
“Ade lah die di kamar pak, tengah ngelipet baju yang abis di jemur tadi”
“Ohh, ehh aok sebelum e ku nek ngomong kek ka” dengan nada yang malu-malu
“Nek ngomong ape pak?”
“Sebelum e coba panggil dulu anak ka, suruh die kesini. Men ad anak ka lebih seger ngumong e”
“Suruh Wulan kesini ok?” tanya ibu dengan kebingungannya.
“Aok, Panggillah”
“Wulaan, sine luk nak. Ade pak Somad ni”
Ibu memanggilku yang saat itu sedang di kamar
“Ngape mak?” aku langsung bergegas keluar kamar dan melihat wajah ibu ku yang heran dengan maksud dan tujuan dari pak Somad ini. Kemudian aku langsung mencium tngan pak Somad yang duduk tepat di hadapan ibu.
“Nih ad pak Somad, kata e ade yang nek di omong kek kita.”
“Aok ni bapak dateng ke sine selain ngasih gaji ikak yang lah begawe bantu di ladang ku beberapa minggu ni ade yang nek diumong kek ikak bedue.”
Aku dan ibu saling bertatapan dan melempar pertanyaan yang heran melalui rawut wajah yang kami tampilkan. Mempertanyakan ada gerangan apa maksud dan tujuan pak Somad menghampiri kami.
“Bapak sengaja dateng kesine dengan maksud nek ngelamar ibu siti untuk jadi istri bapak, kita samau-sama tau bapak lah lama ditinggal bini bapak dan buk siti ge lah lama ditinggal kek almarhum laki ibu.
Aku dan ibu sontak saling bertatapan tanpa bicara karena kaget mendengar pernyataan dari pak Somad.
“InsyAllah men ibu kek Wulan nerima bapak, segale pendidikan Wulan untuk ngelanjut pendidikan di kota pacak bapak bayar, kek kelak kita ngelola padie di sawah sama-sama kek buk siti”
“Aku dan ibu tau kalau pak Somad ini orang yang baik, tidak mungkin akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak kepada kami, dan aku juga yakin kalau apa yang telah diucapkan oeh pak Somad akan dilaksanakan dengan baik. Memang pak Somad sebelumnya sudah pernah datang kemari untuk melamar ibu, tetapi kami masih memikirkan hal itu.
Dan kali ini  sepertinya aku dan ibu akan menerima pinangan pak Somad untuk dapat mempersunting ibu ku.
“Aoklah pak, ku nerima maksud baik dari bapak” Jawab ibuku dengan suara yang terdengar lemah.
“Bener men bu?” Jawab pak Somad. “Benar pak, aku dan wulan siap untuk niat baik yang bapak tawarkan kepada kami.”
“Men cemtu ku nek nyiap semue persiapan yanng perlu kek disiapken.”
“Ku dak perlu acara yang mewah-mewah dk pak, cukup acara syukuran di rumah bai pak”
 “Aoklah bu men macem tu, oh aok kata e Wulan lah lulus sma? Kalo Wulan nek ngelanjut kuliah ku siap ngebantu biaya pendaftaran sampai Wulan selama e kuliah”
“Aoklah, makasih pak ok lah dateng ke umah pak.” Jawabku dengan semangat.
Akhirnya apa yang aku dan ibu inginkan untuk aku dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tingga dapat tercapai, walaupun aku dan ibu yang hanya bisa bekerja di ladang padi milik orang lain yang sebentar lagi bakal menjadi suami ibuku. Memang tuhan selalu memberikan nikmat yang luar biasa kepada hamba-hambanya walaupun tak tau itu kapan akan terjadi.

ADR Pangkalpinang 2 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solidaritas dan Modal Sosial Kunci Hadapi Covid-19

Relasi Makna “Mudik” dan “Pulang Kampung” Antara Makna Leksikal dan Sosial